Senin, 28 Maret 2011

PENDEKATAN KONSELING NON - DIREKTIF

A.      Prinsip-prinsip Konseling Non-Direktif
1.        Pengertian Konseling Non-Direktif
Client-Centered Therapy atau Psikoterapi Non-Direktif adalah suatu metode perawatan psikis yang dilakukan dengan cara berdialog antara konselor dengan klien, agar tercapai gambaran yang serasi antara ideal self (diri klien yang ideal) dengan actual self (diri klien sesuai kenyataan yang sebenarnya).
2.        Ciri-ciri Hubungan Non-Direktif
a.         Menempatkan klien pada kedudukan sentral, klien aktif untuk mengungkapkan dan mencari pemecahan masalah. Jadi, hubungan ini menekankan pada aktivitas klien dan tanggung jawab klien sendiri.
b.         Konselor berperan hanya sebagai pendorong dan pencipta situasi yang memungkinkan klien untuk bisa berkembang sendiri. Jadi, konselor berperan membantu klien dalam merefleksikan sikap dan perasaan-perasaannya.
Ciri-ciri hubungan otoriter:
a.         Klien atau siswa adalah merupakan objek dari subjek yang memegang otoritas (guru, orang tua, atau konselor). Sedangkan siswa/klien harus mengikuti dan taat kepada apa yang digariskan oleh pemegang otoritas.
b.         Pemegang otoritas adalah orang yang paling tahu segala hal, dialah yang menunjukkan, mencarikan atau memberikan jalan pada klien. Jadi, pemegang otoritas adalah berperan sebagai faktor penentu bagi klien.

3.        Dasar Pandangan Non-Direktif tentang Individu
Konseling non-direktif sering pula disebut “client-centered counseling”, yang memberikan suatu gambaran bahwa proses konseling yang menjadi pusatnya adalah klien, dan bukan konselor. Karena itu, dalam proses konseling ini kegiatan sebagian besar diletakkan di pundak klien itu sendiri. Dalam pemecahan masalah, maka klien itu sendiri didorong oleh konselor untuk mencari serta menemukan cara yang terbaik dalam pemecahan masalahnya.
Konseling non-direktif dikembangkan oleh Carl R. Rogers guru besar dalam Psikologi dan Psikiatri, Universitas Wisconsin, dan dipandang sebagai Bapak Konseling Non-Direktif (client-centered counseling).
a)         Dasar filsafat Rogers mengenai manusia
Dasar filsafat Rogers mengenai manusia berorientasi kepada filosofi humanistic. Dasar filsafat Rogers dimaksud ialah bahwa:
1)        Inti sifat manusia adalah positif, sosial, menuju ke muka, dan realistik.
2)        Manusia pada dasarnya adalah kooperatif, konstruktif, dan dapat dipercaya.
3)        Manusia mempunyai tendensi dan usaha dasar untuk mengaktualisasi pribadi, berprestasi dan mempertahankan diri.
4)        Manusia mempunyai kemampuan dasar untuk memilih tujuan yang benar, dan membuat pemilihan yang benar, apabila ia diberi situasi yang bebas dari ancaman.
b)        Pokok-pokok teori Rogers
Ada tiga pokok teori mengenai kepribadian yang di kemukakan oleh Rogers yang mendasari teknik konselingnya. Di antaranya adalah sebagai berikut :
(1)     Organisme
       Organisme yaitu totalitas inividu yanf memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
(a)      Bereaksi secara keseluruhan sebagai satu kesatuan yang teratur terhadap medan phenomenal untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
(b)     Memiliki motif dasar, yaitu mengaktualisasi, mempertahankan dan mengembangkan diri.
(c)      Organisme kemungkinan melambangkan pengalaman-pengalaman, sehingga menjadi disadari atau menolak untuk melambangkan pengalaman-pengalaman tersebut sehingga tetap tidak disadari, atau kemmungkinan tidak memperdulikan pengalaman tersebut.
(2)     Medan phenomenal
Medan phenomenal adalah keseluruhan pengalaman yang pernah dialami. Pengalaman tersebut disadari atau tidak tergantung dari apakah pengalaman tersebut disimbolkan atau tidak. Medan phenomenal hanya dapat mengetahui pengalaman seseorang melalui kesimpulan atas dasar empatik (empatic inference). Kesadaran tercapai kalau pengalaman itu disimbolisasikan.
Menurut Rogers, pengalaman terdiri dari :
a)        Pengalaman yang tersimbolisasikan, dan
b)        Pengalaman yang tidak tersimbolisasikan.
Organisme bereaksi terhadap kedua hal tersebut. Kemungkinan ada bahwa pengalaman tidak dapat dites dengan kenyataan, sehingga mungkin dilaksanakan tindakan yang tak realistis.
(3)     Self
Self merupakan bagian yang terpisah dari medan phenomenal, yang berisi pola pengalaman dari penilaian yang sadar dari subjek. Dari pengalaman-pengalaman, seseorang akan dapat membentuk pola pengamatan dan penilaian terhadap diri sendiri secara sadar baik okrang tersebut sebagai objek. Self ini juga dinamakan juga self-concept (konsep diri).
Berkaitan dengan client-centered counseling dari Carl R. Rogers menyatakan bahwa konseling yang berpusat pada klien haruslah dilandasi pada pemahaman klien tentang dirinya. Atau dengan kata lain pendekatan. Rogers mentitikberatkan kepada kemampuan klien untuk menentukan sendiri masalah-masalah yang terpenting bagi dirinya dan memecahkan sendiri masalahnya. Campur tangan konselor sedikit sekali. Klien akan mampu menghadapi sifat-sifat dirinya yang tidak dapat diterima lingkungannya tanpa ada perasaan terancam dan cemas, sehingga ia menuju kearah menerima dirinya dan nilai-nilai yang selama ini dimiliki dan dianutnya, serta mampu mengubah aspek-aspek dirinya sebagai sesuatu yang dirasakan perlu diubah.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsepdiri (self-concept or self structure) adalah merupakan gambaran seseorang tentang dirinya sendiri. Gambaran yang lengkap tentang dirinya meliputi berbagai kemampuan, kelemahan, sifat-sifatnya, dan bagaimana hubungan dirinya dengan lingkungannya. Jadi, konsep diri adalah bagaimana inividu menyadari dirinya sendiri, dan mengenal dirinya sendiri.
c)         Teori kepribadian Rogers
Rogers memandangmanusia sebagai makhluk sosial, maju terus, rasional, dan realistik. Manusia bukan robot atau mesin, bukan pula kumpulan dan reaksi-reaksi terhadap berbagai respon dan bukan objek. Manusia itu adalah subjek yang utuh, aktif dan unik. Pendapat Carl R. Rogers dirumuskan dalam 19 dalil (Carl R. Rogers Ph.D., Client-Centered Therapy, Houghton-Mifflin Company, Boston 1962, halaman 483-424) disarikan sebagai berikut:
(1)          Tiap inividu ada dalam dua pengalamannya yang selalu berubah-ubah, yang pusatnya adalah dia. Manusia selalu ada dalam dunianya, yang dunia sebagaimana dihayatinya. Maknanya pada inividu bersangkutan. Karena itu sumber informasi yang paling tepat mengenai seseorang adalah orang yang bersangkutan itu sendiri.
(2)          Organisme bereaksi terhadap medan termpat dia ada menurut penghayatannya mengenai medan itu. Medan persepsi itu adalah realistas bagi inividu yang bersangkutan. Sesuatu hal yang secara objektif sama mungkin berarti berbeda bagi inividu lain atau bagi inividu yang sam dalam kondisi yang berlainan.
(3)          Organisme bereaksi terhadap medan phenomenal sebagai suatu kesatuan yang terorganisasi. Apa yang dilakukan inividu dalam sesuatu keseluruhan, meliputi keseluruhan kepribadiannya.
(4)          Organisasi mempunyai satu kencenderungan, dan dorongan dasar, yaitu mangaktualisasikan, mempertahankan, dan meningkatkan organisme yang menghayati. Pada diri inividu terdapat dorongan untuk maju dan dorongan untuk mengejar perkembangan yang lebih lanjut dan meningkat, yang pada akhirnya mencapai aktualisasi dir, yaitu pribadi yang dalam taraf optimal.
(5)          Perilaku pada dasarnya adalah terarah kepada tujuan, yang dilakukan oleh inividu untuk memuaskan kebutuhannya sebagaimana dihayatinya dalam dunianya, yaitu dunia menurut penghayatannya.
(6)          Emosi menyertai dan pada umumnya menunjang perilaku yang terarah pada tujuan itu. Emosi ada sebagai dari reaksi total organisme terhadap phenomenalnya. Dengan artilain dapat dikatakan bahwa kebanyakan cara-cara bertingkah laku yang diambil oleh inividu adalah sesuai dengan konsep dirinya (self-concept). Sehingga cara yang terbaik untuk mengubah perilaku adalah dengan terlebih dahulu mengubah konsep mengenai dirinya.
(7)          Sudut pandang terbaik untuk memahami perilaku inividu adalah kerangka acuan yang ada dalam diri inividu yang bersangkutan. Dengan arti lain bahwa untuk memahami perilaku inividu ialah dengan cara memahami kerangka oreantsinya (bagaimana inividu memandang dunia sekitarnya)
(8)          Suatu bagian dari medan penghidupan secara keseluruhan secara berangsur-angsur terdefinisikan menjadi diri atau self.
(9)          Sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan, terutama sebagai hasil dari interaksi evaluasi dengan orang-orang lain, terbentuklah “diri” itu, yaitu suatu konsep pola kehidupan aku yang kenyal dan konsisten, yang padanya terletak pola sistem nilai. Atau dengan kata lain “konsep diri” itu terbentuk karena inividu berinteraksi dengan lingkungan.
(10)      Nilai-nilai yang terletak pada pengalaman, dan nilai-nilai yang merupakan bagian dari struktur diri, adalah nilai-nilai yang dihayati langsung oleh inividu atau yang diintrojeksikan dari penghayatan orang lain, tetapi yang telah diwarnai oleh makna yang diberikan oleh inividu yang bersangkutan. Jadi, nilai-nilai yang membentuk konsep diri itu diperoleh inividu secara langusng atau dari orang lain.
(11)      Hal-hal dalam dunia pengalaman seseorang itu ditangkap oleh orang yang bersangkutan dalam tiga cara, yaitu :
(a)           Dilambangkan, dihayati, dan diorganisasikan ke dalam hubungan tertentu dengan diri,
(b)          Diabaikan karena tidak ada terlihat hubungan dengan struktur diri, atau
(c)           Ditolak atau dilambangkan dengan perubahan karena hal yang dihadapi itu tidak konsisten dengan struktur diri.
Jadi, pengalaman yang diperoleh inividu, mungkin akan diterima dan dihubungkan dengan konsep diri, mungkin pula ditolak, dibuang, atau disingkirkan karena tidak cocok dengan konsep diri.
(12)      Kebanyakan cara-cara berperilaku yang dijalankan oleh inividu adalah perilaku yang konsisten dengan konsep diri. Perilaku seseorang itu sejalan dengan konsep tentang dirinya.
(13)      Dalam beberapa hal perilaku mungkin ditimbulkan oleh pengalaman organik atau kebutuhan yang belum dilambangkan. Perilaku yang demikian itu tidak konsisten dengan struktur diri, tetapi yang demikian itu sebenarnya perilaku menjadi “bagian” dari inividu yang bersangkutan atau perilaku itu dapat berasal dari  pengalaman dan dapat pula berasal dari kebutuhan yang belum diketahui.
(14)      Penyesuaian  psikologis yang tidak baik terjadi bilamana organisme menolak menyadari pengalaman-pengalaman dan viseral yang penting, yang karenanya dilambangkan dan diorganisasikan ke dalam struktur diri. Apabila hal yang demikian ini berlangsung, maka akan terjadi ketegangan psikologis. Ganguan psikologis (mental) terjadi apabila inividu menolak kenyataan yang tidak sesuai dengan konsep dirinya.
(15)      Penyesuainan psikologis yang baik terjadi apabila diri itu memungkinkan semua pengalaman sensoris dan viseral organisme dapat diasimilasikan dengan simbolik kedalam relasasi yang konsisten dengan konsep diri.
(16)      Setiap pengalaman yang tidak konsisten dengan organissasi atau struktur diri mungkin diamati sebagai ancaman, dan semakin banyak struktur pengalaman yang demikian kukuhlah diri itu diorganissasikan, untuk mempertahankan diri.
(17)      Pada kondisi-kondisi tertentu, bila sama sekali tidak menimbulkan ancaman terhadap struktur diri, maka pengalaman-pengalaman yang tidak konsisten dengan struktur diri itu mungkin diamati, diuji, dan struktur diri direvis agar dapat mengasimilasi dan mencakup pengalaman-pengalaman yang demikian itu. Dengan demikian, dapat dikatakan apabila pengalaman baru itu tidak menimbulkan ancaman, maka pengalaman ini akan diterima dan dapat merubah atau memperbaiki konsep diri.
(18)      Apabila inividu mengamati dan menerima semua pengalamannya yang sensoris dan viseral kedalam suatu integral, maka ia akan dapat lebih memahami dan menerima orang lain. Dengan arti  kata lebih sederhana dapat dikatakan, bahwa apabila pengalaman sosial diterima dan membentuk konsep diri, kemudian inividu dapat memahami inividu lainnya, maka ia pun akan lebih diterima oleh lingkungannya.
(19)      Apabila inividu mengamati dan menerima lebih banyak pengalaman organismenya, maka ia akan menyadari bahwa ia sedang menggantikan sistem nilai-nilainya yang sekarang dengan baru, dengan suati proses evaluasi organis.
Teori Rogers ini telah menjadi dasar pengembangan konseling non-direktif dan usaha-usaha lain yang bertujuan membantu inividu untuk mengembangkan apa  yang telah ada pada dirinya. Dengan memahami teori ini, maka akan dipahami pula hubungan dunia kehidupan - pengalaman-konsep diri - penerimaan lingkungan - kondisi sehat mental.
4.        Karakteristik Konseling Non-direktif
Peran klien yang besar dibandingkan dengan konselornya dalam hubungan konseling adalah merupakan karakterisisik utama dari konseling non-direktif.
Karakteristik untuk dari konseling non-direktif, masing-masing menekankan pada:
(a)      Tanggung jawab dan kemampuan klien dalam menghadapi kenyataan.
Seseorang berfungsi sempurna apabila memiliki pemahaman tentang dirinya sendiri, terbuka terhadap pengalaman baru. Untuk memperoleh pemahaman akan dirinya, terbuka hal-hal yang baru itu haruslan diberikan suatu kesempatan, pengalaman dan tanggung jawab untuk menghadapi kenyataan. Kenyataan itu pada hakikatnya adalah sesuatu yang diamati dan dialami inividu (Carl R. Rogers). Jadi, klien didorong untuk menentukan pilihan dan keputusan serta tanggung jawab atas pilihan dan keputusan yang telah di ambilnya
(b)      Pengalaman-pengalaman sekarang.
Konseling non-direktif tidak beorientasi pada pengalaman masa lalu,  tetapi menitikberatkan pada pengalaman-pengalaman sekarang. Untuk mengungkapkan pengalaman dan permasalahannya yang dihadapi sekarang ini (saat ini), konselor mendorong klien untuk mengungkapkannya dengan sikap yang empatik, terbuka, asli (tidak berpura-pura), dan permisif.
(c)      Konseling non-direktif tidak bersifat dogmatis.
Konseling non-direktif bukanlah suatu bentuk hubungan atau pendekatan yang bersifat kaku atau merupakan suatu dogma. Tetapi merupakan suatu pola kehidupan yang berisikan penukaran pengalaman, dimana konselor dan klien memperlihatkan sifat-sifat kemanusiaan dan berpartisipasi dalam menemukan berbagai pengalaman baru.
(d)     Konseling non-direktif menekankan kepada persepsi klien.
Konseling ini mengutamakan dunia fenomenal dari klien. Konselor berusaha memahami keseluruhan pengalaman yang pernah dialami (dunia fenomenal) dari klien dari sudut pandang persepsi klien sendiri, apakah itu berupa persepsi klien tentang dirinya sendiri maupun tentang dunia luar.
(e)      Tujuan konseling non-direktif ada pada diri klien dan tidak ditentukan oleh konselor.
Konseling non-direktif ini menempatkan klien pada kedudukan sentral, sedangkan konselor berusaha membantu klien mengungkap dan menemukan pemecahan masalah oleh dirinya sendiri. Jadi, tujuan konseling dengan sendirinya ada dan di tentukan oleh klien itu sendiri.



5.        Fungsi Konselor dalam Konseling Non-Direktif.
            Dalam konseling non-direktif ada beberapa fungsi yang perlu dipenuhi oleh seorang konselor. Fungsi yang dimaksud, sebagai berikut :
(a)      Menciptakan hubungan yang bersifat permisif.
Menciptakan hubungan yang bersifat permisif, penuh pengertian, penuh penerimaan, kehangatan, terhindar dari segala bentuk ketegangan, tanpa memberikan penilaian baik positif maupun negatif. Dengan terciptanya hubungan yang demikian itu, secara langsung dapat melupakan ketegangan-ketegangan, perasaan-perasaan, dan mempertahankan diri klien. Menciptakan hubungan permisif bukan saja secara verbal tetapi juga secara nonverbal.
(b)      Mendorong pertumbuhan pribadi
Dalam konseling non-direktif fungsi konselor bukan saja membantu klien untuk melepaskan diri dari masalah-masalah yang dihadapinya, tetapi lebih dari itu adalah berfungsi untuk menumbuhkan perubahan-perubahab yang fudamental (terutama perubahan sikap). Jadi, proses hubungan konseling di sini adalah proses untuk membantu pertumbuhan dan pengembangan pribadi klien.
(c)      Mendorong kemampuan memecahkan masalah.
Dalam konseling non-direktif, konselor berfungsi dalam membantu klien agar ia mengambangkan kemampuan untuk memecahkan masalah. Jadi, dengan demikian salah satu potensi yang perli dikembangkan atau diaktualisasikan diri klien adalah potensi untuk memecahkan masalahnya sendiri.

6.      Persyaratan Sifat dan Sikap Seorang Konselor Non-Direktif.
            Beberapa persyaratan yang berhubungan dengan sifat dan sikap agar dapat melaksanakan hubungan konseling non-direktif, diantaranya adalah sebagai berikut :
(a)                Kemampuan berempati.
Empati pada dasarnya adalah mengerti dan dapat merasakan orang lain (klien). Empati ini akan lebih lengkap dan sempurna apabila diiringi oleh pengertian dan penerimaan konselor tentang apa yang dipikirkan oleh klien. Empati adalah saling hubungan akan dua orang, dan kuat lemahnya empati itu sangat bergantung pada saling pengertian dan penerimaan terhadap suasana yang diutarakan oleh klien. Empati yang dalam, dapat dirasakan oleh kedua belah pihak, yaitu baik oleh konselor maupun oleh klien itu sendiri
(b)               Kemampuan menerima klien.
Kemampuan konselor untuk benar-benar menerima klien sebagaimana adanya adalah memegang peran penting dalam hubungan konseling. Dasar dari kemampuan ini adalah penghargaan terhadap orang lain (dalam diri kllien) sebagai seorang yang pada dasarnya baik. Dalam menerima klien ini ada dua unsur yang perlu diingat ialah :
a)      Konselor berkehenda untuk membiarkan adanya perbedaan antara konselor dengan klien
b)      Konselor menyadari bahwa pengalaman yang akan dilalui oleh klien ada usaha yang penuh dengan perjuangan, pembinaan, dan perasaan.
Penerimaan konselor terhadap klien secara langsung bersangkut paut dengan kemampuan konselor untuk tidak memberikan penilaian tertentu terhadap klien.
(c)                Kemampuan untuk menghargai klien.
Seorang konselor non-direktif harus menghargai pribadi klien tanpa syarat apapun. Apabila rasa dihargai dirasakan oleh klien, maka timbullah rasa percaya bahwa dirinya mempunyai harga sebagai individu (tidak dipandang rendah/tidak berarti), maka klien akan berani mengemukakan segala masalahnya, maka timbul pula keinginan bahwa dirinya berharga untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri. Konselor harus dapat menerima klien sebagaimana adanya. Dengan sikap dan kemampuan yang dimiliki konselor untuk menghargai klien tanpa syarat, serta menerima klien apa adanya secara langsung akan membina hubungan yang akrab penuh rasa persahabatan, hangat, terbuka dengan kliennya.
(d)               Kemampuan untuk memperhatikan.
Kemampuan memperhatikan menuntut keterlibatan sepenuhnya dari konselor terhadap segala sesuatu yang dikemukakan oleh klien. Kemampuan ini memerlukan keterampilan dalam mendengarkan dan mengamati untuk dapat mengetahui dan mengerti inti dari isi dan suasana perasaan bagaimana yang diungkapkan klien. Melalui mendengarkan dan mengamati itu konselor tidak hanya menangkap dan mengerti apa yang dikemukakan oleh klien, tetapi juga bagaimana klien menyampaikan hal itu. Bagaimanapun juga, suka atau tidak suka, klien menginginkan perhatian penuh terhadap apa yang diungkapkan oleh klien, baik melalui kata-kata (verbal) maupun isyarat (non-verbal).
(e)                Kemampuan membina keakraban.
Keakraban merupakan syarat yang sangat penting demi terbinanya hubungan yang nyaman dan serasi antara konselor dan klien. Keakraban ini akan tumbuh terus-menerus dan terbina dengan baik apabila konselor benar-benar menaruh perhatian dan menerima klien dengan permisif. Perhatian dan penerimaan yang murni (tidak semu dan palsu) ini sebenarnya tidak dipaksakan, direncanakan ataupun dibuat-buat. Seorang konselor yang memaksakan dirinya menaruh perhatian dan menerima klien, maka wujud perhatian itu tidak akan wajar, ketidakwajaran itu sendiri akan mewarnai hubungan tersebut. Keakraban yang murni dan wajar diwarnai oleh adanya perhatian, tanggapan, dan keterlibatan perasaan secara tulus dan tanpa pamrih. Keakraban itu adalah lebih dalam dari hanya sekadar ucapan salam atau mengenakkan hati klien. Lebih jauh dari itu keakraban itu merupakan keastuan suasana hubungan yang ditandai oleh rasa saling percaya mempercayai, kerjasama, kesungguhan, ketulusan hati, dan perhatian.
(f)                Sifat keaslian (gunuin)
Seorang konselor non-direktif harus memperlihatkan sifat keaslian dan tidak berpura-pura. Kepura-puraan dalam hubungan konseling menyebabkan klien menutup diri. Jadi, proses konseling non-direktif mengharapkan keterbukaan dari klien. Klien akan terbuka apabila konselor dapat dipercaya dan bersungguh-sungguh.
(g)               Sikap terbuka
Konselin non-direktif mengharapkan adanya keterbukaan dari klien baik untuk mengemukakan segala masalahnya maupun untuk menerima pengalaman-pengalaman. Keterbukaan dari klien akan terwujud apabila ada keterbukaan dari konselor pula.

B.     Proses Konseling Non-Direktif
1.                  Ilustrasi Kasus

2.                  Tujuan
Secara umum tujuan yang ingin dicapai melalui pendekatan Konseling Non-Direktif adalah untuk membantu klien agar berkembang secara optimal sehingga ia mampu menjadi manusia yang berguna. Dimana tujuan dasar Konseling Non-Direktif secara rinci adalah sebagai berikut:
1.    Membebaskan klien dari berbagai konflik psikologis yang dihadapinya.
2.    Menumbuhkan kepercayaan diri klien untuk mengambil satu atau serangkaian keputusan yang terbaik bagi dirinya sendiri tanpa merugikan orang lain.
3.    Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada klien untuk belajar mempercayai orang lain dan memiliki kesiapan secara terbuka untuk menerima berbagai pengalaman orang lain yang bermanfaat bagi dirinya sendiri.
4.    Memberikan kesadaran diri pada klien bahwa dirinya adalah merupakan bagian dari suatu lingkup social budaya yang luas, dimana ia masih memiliki keunikan tersendiri.
5.    Menumbuhkan suatu keyakinan pada klien bahwa dirinya terus bertumbuh dan berkembang (process of becoming). 
6.                  Ciri-ciri Proses
Adapun ciri-ciri dalam pendekatan Konseling Non-Direktif, yaitu:
1.    Klien berperan lebih dominan daripada konselor. Dimana  konselor hanya sebagai fasilitator atau cermin.
2.    Keputusan akhir tetap berada ditangan klien, sedangkan konselor berperan dalam mengarahkan klien untuk mampu mengambil keputusan sendiri atas masalah yang dihadapinya.
3.    Dalam proses Konseling Non-Direktif menekankan pada pentingnya hubungan yang bersifat permisif, intim sebgai persyaratan mutlak bagi berhasilnya hubungan konseling. Komunikasi antara konselor dan klien akan lebih mudah apabila berbentuk keakraban (raport), karena keakraban adalah dasar membentuk kepercayaan antara klien dan konselor. Dimana konselor harus memberikan keleluasaan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya dan pada saat yang bersamaan konselor memisahkan semua informasi yang relevan dengan tujuan dari konseling,
4.    Konselor harus benar-benar menerima klien apa adanya dan sebelum memberikan bantuan konselor harus menghadapi klien dengan tulus sebagai individu yang berpotensi untuk mengambil keputusan sendiri atas permasalahannya.
5.    Proses konseling tidak bisa ditentukan oleh konselor. Sehingga lebih cepat klien mengungkapkan masalahnya, maka secepat itu pula konselor dapat mengarahkan klien dalam menyelesaikan masalahnya.
6.    Empati menduduki tempat terpenting. Karena dengan empati konselor dapat mengerti dan merasakan perasaan klien seutuhnya. 
7.                  Langkah-langkah
Adapun menurut Carl R. Rogers, ada dua belas langkah yang dapat digunakan sebagai  pedoman dalam melaksanakan konseling Non-Direktif. Namun kedua belas langkah yang dikemukan itu bukanlah langkah yang baku, dapat diubah-ubah. Langkah-langkah dimaksud adalah sebagai berikut:
1.    Klien datang untuk meminta bantuan kepada konselor secara sukarela.
Bila klien datang atas petunjuk seseorang, maka konselor harus mampu menciptakan suasana permisif, santai, penuh keakraban dan kehangatan, serta terbuka, sehingga klien dapat menetukan sikap dalam pemecahan masalahnya.
2.    Merumuskan situasi bantuan.
Dalam merumuskan konseling sebagai bantuan untuk klien , klien didorong untuk menerima tanggung jawab untuk melaksanakan pemecahan masalahnya sendiri. Dimana dorongan ini hanya bisa dilakukan apabila konselor yakin pada kemampuan klien untuk mampu membantu dirinya sendiri.
3.    Konselor mendorong klien untuk mengungkapkan perasaannya secara bebas, berkaitan dengan masalahnya.
Dengan menunjukkan sikap permisif, santai, penuh keakraban, kehangatan, terbuka, serta terhindar dari ketegangan-ketegangan, memungkinkan klien untuk mengungkapkan perasaannya, sehingga dirasakan meredanya ketegangan atau tekanan batinnya.
4.    Konselor secara tulus menerima dan menjernihkan perasaan klien yang sifatnya negative dengan memberikan respons yang tulus dan menjernihkan kembali perasaan negative dari klien.
5.    Setelah perasaan negative dari klien terungkapkan,maka secara psikologis bebannya mulai berkurang. Sehingga ekspresi-ekspresi positif akan muncul, dan memungkinkan klien untuk bertumbuh dan berkembang.
6.    Konselor menerima perasaan positif yang diungkapkan klien.
7.    Saat klien mencurahkan perasaannya secara berangsur muncul perkembangan  terhadap wawasan (insight) klien mengenal dirinya, dan pemahaman (understanding)serta penerimaan diri tersebut.
8.    Apabila klien telah memiliki pemahaman terhadap masalahnya dan menerimanya, maka klien mulai membuat keputusan untuk melangkah memikirkan tindakan selanjutnya. Artinya bersamaan dengan timbulnya pemahaman, muncul proses verfikasi untuk mengambil keputusan dan tindakan memungkinkan yang akan diambil.

9.                  Dasar Pertimbangan Penggunaan
Pertimbangan yang menjadi pendorong digunakannya konseling Non-Direktif didasarkan pada :


1.    Sifat Klien
Dalam proses konseling diharapkan konselor mampu memahami sifat-sifat kliennya secara baik. Karena pada hakikatnya klien sebagai individu memiliki keunikan tersendiri.  Dimana Konseling Non-Direktif sebagai suatu pendekatan memberikan keleluasaan pada klien yang memiliki sifat-sifat: agresif, terbuka, terus terang, serta mampu mengungkapkan masalahnya secara terus terang, bebas, dan lancar.
2.    Sifat Konselor
Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang konselor dalam Konseling Non-Direktif, yaitu:
1.                  Kemampuan dan kesediaan untuk menjadi pendengar yang baik. Disamping itu juga bersedian untuk menyimak, mengkaji, dan menangkap apa yang diungkapkan oleh klien.
2.                  Kemampuan menciptakan hubungan keakraban(raport). Karena  hal ini merupakan dasar dalam membentuk kepercayaan dan pengertian antara konselor dan klien.
3.                  Kesediaan konselor untuk meluangkan waktu yang cukup banyak, karena Konseling Non-Direktif berpotensi untuk memakan waktu yang lama.
4.    Sifat Masalah
Dalam Konseling  Non-Direktif pada dasarny dapat digunakan pada setiap masalah yang dihadapi klien. Tetapi konseling ini lebih tepat digunakan untuk masalah-masalah yang bersifat konflik psikologis. Konflik psikologis yang dimaksudkan adalah yang terkait dengan ketegangan-ketegangan psikologis, sebagai akibat tertekannya individu oleh lingkungan maupun dirinya sendiri.
5.                  Kelemahan dan Kelebihan
1.    Kelemahan
Penggunaan pendekatan konseling Non-Direktif memiliki beberapa keterbatasan:
1.                  Cara Pendekatan yang berpusat pada klien sedangkan waktu yang tersedia terbatas. Sehingga bila konselor tidak mampu mengatur arah pembicaraan, maka akan menyita banyak waktu dalam wawancara.
2.                  Keterbatasan kemampuan dan keberanian klien dalam menyampaikan permasalahannya secara verbal.
3.                  Kesukaran klien dalam memahami kesukarannya sendiri
4.                  Pendekatannya menuntut kedewasaan klien dalam bersikap untuk memahami dirinya dan memecahkan masalahnya sendiri.
5.                  Keterbatasan konselor dalam menghadapi masalah klinis akibat konselor belum terlatih dalam masalah psikologis.
6.    Kelebihan
Pendekatan konseling Non-Direktif biasanya banyak membantu dalam proses konseling, terutama bila :
1.                  Klien dalam kondisi emosional yang labil sehingga sulit berpikir logis
2.                  Konselor memiliki kemampuan yang cukup tinggi dalam menangkap emosi yang ditonjolkan klien dan merefleksikan kembali ke klien dalam bahasa dan tindakan yang sesuai.
3.                  Klien mampu merefleksikan dirinya baik itu perasaan maupun  pikirannya melalui penyampaian secara verbal.
4.                  Pendekatan ini sangat cocok dipergunakan sebab masalah klien tetap menjadi tanggung jawab klien, sekalipun konselor memberikan beberapa bantuan berupa pertanyaan penggali (probbing), namun penekanan tetap berpusat pada kemampuan refleksi diri klien terhadap masalahnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar